KOMPAS, Jawa Tengah, Rabu, 21 November 2001
Semarang, Kompas – Kepolisian Sektor (Polsek) Tugu, Kota Semarang, Selasa (20/11) melanjutkan pemeriksaan kasus penjualan sejumlah gadis remaja. Dalam pemeriksaan itu, dua tersangka masing-masing Ny. Sulistyowati (32) dan Ny. Ponijah (37) mengakui menjual “gadis kencur” sebagai pekerja seks komersial (PSK). Demikian dismpaikan Kepala Kepolisian Kota Besar (Kapoltabes) Semarang, Komisaris Besar Drs Halba Rubis Nugroho MM melalui Kepala Polsek (Kapolsek) Tugu, Ajun Komisaris Nasikun, Selasa kemarin. Disebutkan, keenam anak yang diperjualbelikan tersebut ialah Fitri (13), Vita (14), Nina (17), Kevin (17), Tuti (17), dan Natiana (17). Menurut Nasikun, Fitri dan Vita diakui tersangka Sulistyowati sebagai anak kandungnya.
Nasikun menambahkan, saat diperiksa Ponijah mengaku bekerja sebagai perantara mencari PSK dari lokalisasi Sunan Kuning, Semarang atau lokalisasi lain di Semarang. Ponijah mengaku baru kali ini menjual anak perempuan di bawah umur.
Perdagangan perempuan di bawah umur ini, menurut Kepala Unit Resintel (Reserse dan Intel) Polsek Tugu, Inspektur Dua Herman SH dilakukan kedua tersangka sejak April 2000. Setiap gadis remaja ditawarkan tersangka kepada lelaki hidung belang antara Rp 500.000 hingga Rp 5 Juta.
Herman menjelaskan, kedua tersangka kini meringkuk di tahanan Polsek Tugu, Semarang. Dua korban, Fitri dan Vita kadang-kadang menemani ibunya di tahanan meski tidak ikut ditahan. Polisi selanjutnya akan berusaha memeriksa lebih mendalam kedua tersangka.
Terungkapnya kasus ini berasal dari pengakuan keluarga Natiana yang kehilangan anak gadisnya selama dua hari. Dari penyelidikan polisi diketahui, Natiana sudah masuk dalam jaringan penjualan anak perempuan di bawah umur.
Hukuman Berat
Menanggapi kasus perdagangan “gadis kencur” untuk tujuan seksual, Pusat Edukasi Studi dan Advokasi Manusia (Perisai), Yayasan Setara dan Legal Resource Centre Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia LRC-KJ HAM) di Semarang, menyatakan polisi harus mengusut tuntas dan menghukum berat pelaku perdagangan. Hukuman itu merupakan bentuk perlindungan negara atas hak-hak anak sesuai Konvensi Hak Anak PBB.
Ketiga organisasi juga menuntut agar Indonesia segera meratifikasi Konvensi Anti Perdagangan Anak dan Perempuan PBB; Optional Protocol Anti Penjualan Prostitusi dan Pornografi Anak; serta Konvensi Anti Kejahatan Trans Nasional sebagai bentuk pencegahan perdagangan anak.
Selain itu, ketiga organisasi itu juga minta masyarakat melawan perdagangan anak untuk tujuan seksual dengan tetap mengutamakan kepentingan terbaik seorang anak. “Kami juga menuntut aparat yang berwenang agar mengungkap jaringan perdagangan dan penjualan anak-anak perempuan,” ujar Fatah Muria, Koordinator Pelaksana Perisai.
Tinggi, kekerasan seksual
Meskipun undang-undang menjamin setiap anak berhak mendapat perlindungan, tetapi realita di masyarakat kekerasan terhadap anak hingga kini terus berlangsung. Di Jawa Tengah (Jateng) misalnya, dari 101 kasus yang masuk Hotline Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jateng selama Januari – Oktober 2001, paling banyak kasus kekerasan seksual.
Badan Pelaksana LPA mencatat dari 101 kasus yang masuk lewat hotline, 56 kasus (56,4 persen) di antaranya kasus kekerasan, yang didominasi kekerasan seksual 35 kasus (34,6 persen). Selain itu kekerasan fisik 12 kasus (11,8 persen) dan penelantaran anak 10 kasus (9,9 persen). Sisanya, merupakan kasus akte kelahiran, akses pendidikan, konflik hukum, anak hilang dan lain-lain.
Demikian siaran pers yang disampaikan LPA Jateng, Selasa.
Koordinator Hotline Anak LPA Jateng, Ary Yusmindar melalui siaran persnya menyatakan, di luar kasus yang masuk di hotline, diperkirakan masih banyak kekerasan terhadap anak.
“Kecilnya angka yang muncul di permukaan tidak dapat dilepaskan dari kultur dan struktur yang memandang permasalahan anak dan kekerasan sebagai permasalahan domestik/ rumah tangga dan sebagai sarana pendidikan,” ujarnya. (p06/son).