KOMPAS, Rabu, 1 April 1998
Semarang, Kompas, Kehadiran anak jalanan di Kota Semarang, merupakan fenomena tersendiri yang mengundang perhatian pemerintah. Meski ada upaya pemerintah untuk menanganinya, namun perkembangan anak jalanan seolah tak terkendali, bahkan cenderung bertambah banyak. Terbukti, jika sebelumnya mereka hanya berada di enam lokasi, sekarang meningkat pesat dan tersebar pada lebih 20 lokasi.
Demikian hasil penelitian Pusat Studi Wanita (PSW) dan Pusat Penelitian Gender Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, yang dipaparkan pada Seminar Anak Jalanan, Selasa (31/3) di Gedung Widya Puraja, Kampus Tembalang. Hasil penelitian itu dikemukakan Tim PSW/ Puslit Gender, Nuniek Sriyuningsih, Ari Wibowo, Kartini Sekartadji, dan Nur Rochaeti.
Menurut Ari Wibowo, saat ini jumlah anak jalanan yang tersebar di Semarang berdasarkan perkiraan Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS), berkisar 700 orang. Menurut Wibowo, 43 persen di antaranya berusia 13-15 tahun dan 35,9 persen berusia 15-18 tahun.
Menurut hasil penelitian tahun 1997, sebagian besar atau 58 persen anak jalanan tersebut berasal dari Semarang. Sedangkan 42 persen lainnya berasal dari luar Semarang yakni Demak (18,8 persen), Surakarta dan Purwodadi (2,9). Sisanya dari Jakarta, Surabaya, Tasikmalaya dan Bandung.
Berdasarkan jenis kelamin, kata Wibowo, anak jalanan lelaki umumnya berasal dari luar Jawa Tengah. Sedangkan anak jalanan perempuan, hampir semuanya berasal dari Jateng. Mereka juga umumnya berada di jalanan mulai usia 7-12 yang terdiri dari laki-laki (58,5 persen) dan perempuan (45,8 persen).
Hasil penelitian menyebutkan, secara umum penyebab anak-anak itu berada di jalanan, karena tuntutan ekonomi keluarga. Selain itu, karena banyaknya permasalahan yang muncul dalam keluarga.
Pekerjaan anak jalanan ini, cukup beragam. Paling dominan ngamen (41,5 persen), disusul tukang semir (22,8 persen), asongan (12,9 persen) dan jual koran (6,3 persen) serta sisanya mengemis.
Dari penelitian itu juga ditemukan fenomena menarik, yakni sekitar 30 persen anak jalanan perempuan (di bawah 18 tahun) menjadi pelacur cilik, atau ciblek.
“Melihat tingginya angka anak jalanan perempuan yang jadi ciblek dapat dikatakan hal itu sebagai subkultur anak jalanan. Kondisi ini bukan sekadar perilaku menyimpang, tapi cenderung menjadi fenomena tersendiri,” tandas Ari. (hh)