Kasus Marak Trafficking, Sulit Jerat Pelaku (Jawa Pos, 2009)

JAWA POS, Rabu, 14 Oktober 2009

SEMARANG – Kasus trafficking (perdagangan manusia) di Kota Semarang terindikasi marak. Sebagian besar menimpa anak bawah umur yang dipekerjakan sebagai wanita penghibur di sejumlah lokalisasi. Sayangnya, untuk menjerat pelakunya masih sulit. Kendalanya terbentur pembuktikan. Yang terjadi, kasus pun menjadi kabur.

Koordinator Yayasan Setara Semarang Hening Budiyati membeber, di Kota Semarang pada 2009, pihaknya menemukan indikasi tindakan eksploitasi anak. Jumlahnya mencapai 20 hingga 30 anak per bulan.

Indikasinya, si korban ditawari kerja di daerah lain. Namun tawaran itu ternyata hanya akal-akalan pelaku. Bukannya bekerja di tempat yang benar, korban justru dijerumuskan bekerja di lokalisasi sebagai pekerja seks.

Hening menyontohkan, pada 2000, pihaknya menemukan sepuluh kasus trafficking. Dari sepuluh kasus, hanya satu yang bisa kembali dengan alasan melarikan diri. Sembilan lainnya, tak tahu keberadaannya.

Untuk meminimalisasi terjadinya trafficking, Hening meminta pemerintah kota maupun kabupaten menerbitkan sebuah peraturan daerah (perda) perlindungan anak.

“Langkah yang ditempuh semisal adanya upaya sosialisasi sampai ke masyarakat bawah. Intinya, tindakan preventif perlu dilakukan,” kata Hening saat berbicara di depan peserta seminar bertema Memperlindungi Hak Anak yang Diperdagangkan Standar Hak Asasi Manusia.

Seminar berlangsung di aula Parahita Ekapraya lantai 3 Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jateng Jalan Pamularsih No 28 Semarang.

Seminar dihelat oleh Yayasan Setara, sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial pendampingan anak bekerja sama dengan Indonesia Against Child  Trafficking (ACTS), Selasa (13/10) kemarin. Untuk bisa mengayomi anak dari tindak pidana trafficking, lanjut Hening, pemerintah daerah perlu menerbitkan peraturan daerah tentang anak.

Hening juga menyampaikan, perlu adanya kontrol atau pengawasan ekstra ketat terkait tindakan pencegahan agar trafficking tak marak.

Sedangkan Kasatreskrim Polres Semarang Barat AKP Mulyawati Syam SIK berpendapat, trafficking berakar dari problem yang cukup kompleks. Tepatnya karena kemiskinan di masyarakat.

Faktor lain, terjadinya diskriminasi jender. Karena miskin, orangtua kerap membiarkan anak bekerja mencari nafkah sendiri. Faktor lain, anak yang belum tahu-menahu dunia kerja, sudah dipaksakan. “Juga faktor terjadinya pernikahan dini, bencana alam, dan dari keluarga kurang harmonis.”

Mantan Kapolsek Kalibanteng ini mengatakan, Semarang bukan sumber perdagangan anak atau perempuan. Melainkan hanya wilayah lintasan. “Karena itu, perlu waspadai bersama, juga ditangani secara bersama-sama.

Menurut Mulyawati, peran aktif masyarakat dan LSM sangat penting dalam mencegah upaya trafficking. “Siapapun yang melihat aksi itu (trafficking, red), segera laporkan,” pintanya. (mg1/isk)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=120145

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *