Kota Layak Anak, Anjal Makin marak (Radar Semarang, 2012)

RADAR SEMARANG, Minggu, 14 Oktober 2012

SIMPANG LIMA – Peluncuran Kota Layak Anak (KLA) yang dilakukan Pemkot Semarang sepertinya harus kembali dikaji. Pasalnya di Kota Semarang ini, tak sedikit anak yang belum mendapatkan hak-haknya. Yakni untuk bermain, bersekolah dan mendapatkan akses kesehatan.

Buktinya, di Kota Atlas ini masih banyaknya anak-anak jalanan yang kehilangan masa-masa untuk bermain dan belajar. Anak-anak jalanan tersebut justru memilih menjadi pengamen, pengemis dan sebagainya. Padahal rata-rata usia mereka tergolong masih sangat muda, dan belum waktunya untuk mencari uang guna memenuhi kebutuhan pribadi. Sudah seharusnya anak-anak tersebut menghabiskan waktu untuk bermain dan belajar.

Anjal Lebih dari 421

Pantauan Radar Semarang kemarin sejumlah anak jalanan tampak di kawasan Simpang Lima. Anak-anak tersebut mengemis dan mengamen di hadapan pengunjung pusat keramaian kita. Tak hanya di Simpang Lima, hampir setiap perempatan lampu merah ada saja anak-anak jalanan yang meminta-minta uang.

Alasan mengapa mengamen atau mengemis bermacam-macam, mulai dari untuk membeli buku sekolah, untuk bayar SPP, untuk makan dan sebagainya. Salah seorang anak jalanan, WS, 8, mengatakan sudah melakoni pekerjaannya sebagai pengemis lebih dari 2 tahun. Hal itu rutin ia lakukan setelah sepulang dari sekolah.

“Pulang sekolah, ganti pakaian terus turun ke jalan untuk cari uang,” kata WS. Lalu uangnya untuk apa? WS mengaku untuk membantu orang tua, sebab kedua orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap. “Untuk biaya sekolah,” tandasnya.

Padahal, jika melihat indikator KLA, ada lima yang harus dipenuhi pemerintah kota setempat. Yakni hak-hak sipil dan kebebasan anak, lingkungan keluarga, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, perlindungan khusus kepada anak-anak oleh Pemerintah Kota setempat.

Direktur LSM Setara Hening Budiawati yang peduli terhadap pendampingan anak jalanan menyatakan bahwa jumlah anak-anak jalanan di Kota Semarang ini mencapai lebih dari 421. “Yang kami dampingi saat ini ada sekitar 100 anak, mulai dari kawasan Simpang Lima, Jalan Pahlawan, Jalan Gajahmada, Kawasan Pasar Johar dan sekitarnya,” katanya.

Ia mengatakan untuk mewujudkan program KLA yang sekarang ini dijalankan, Pemkot Semarang harus bisa mengentaskan anak-anak jalanan. Sehingga anak-anak jalanan di Kota Semarang ini bisa berkurang. Seperti menambahkan wahana bermain, dan memberikan akses pendidikan dan kesehatan yang layak.

“Wahana taman bermain juga tidak boleh melulu di tengah kota. Tapi harus sampai ke seluruh kampung-kampung pinggiran kota Semarang. Begitu juga dengan pendidikan, jika memang anjal kesulitan melakukan pendidikan formal, pemkot harus mendampingi dengan cara memberikan pendidikan non formal,” tandasnya.

Pengalamannya mendampingi anak jalanan, masalah sebenarnya tidak sekedar pemenuhan ekonomi. Tapi juga pendidikan, akses untuk wahana untuk bermain dan lingkungan keluarga. “Permasalahan ini saya kira menjadi PR bagi Pemkot Semarang diselesaikan,” tambahnya.

Hal senada juga dikatakan psikolog dari Universitas Diponegoro Hastaning Sakti. Ia menambahkan bahwa persoalan wahana bermain anak menjadi hal utama untuk mewujudkan KLA.

“Anak-anak sekolah kemudian atau anak-anak jalanan kemudian menghabiskan waktu untuk nongkrong di pinggir jalan. Karena tidak ada ruang bermain, kemudian mereka melakukan hal-hal layaknya orang dewasa. Seperti merokok, mencari uang, tawuran dan sebagainya,” ujar Hastaning.

Selain itu pemicu lainnya adalah lingkungan keluarga dan kondisi ekonomi keluarga. Keluarga dengan ekonomi lemah, anak-anak cenderung kurang mendapatkan fasilitas untuk belajar, bermain dan akses kesehatan. “Makanya selain menambah arena bermain, para orang tua juga harus disadarkan akan pentingnya masa depan anak,” paparnya (bud/ton).

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *