LSM Kaget Dana Anak Jalanan Rp 1,1 Miliar (Suara Merdeka, 1999)

SUARA MERDEKA, Minggu, 7 Maret 1999, Halaman II

  • Anggota FPP : Anggaran Sebesar Itu untuk Apa?

SEMARANG – Ironis. Begitulah kesannya jika kita bandingkan kondisi anak jalanan yang tidak “terawat” dengan dana yang disediakan pemerintah untuk membina mereka.

Menurut anggota Komisi E DPRD Jateng, Drs Istajib, dalam tahun anggaran ini telah disiapkan anggaran Rp 1,1 miliar untuk pembinaan anak jalanan di Jateng. Rinciannya Rp 220 juta bersumber dari APBD Jateng dan Rp 880 juta dari dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) pemerintah pusat.

“Untuk dana dari APBD I 1999/2000 sebanyak Rp 220 juta sudah digedok dalam rapat komisi,” katanya, kemarin. Dia menanggapi adanya kasus jual-beli anak jalanan yang diduga dikirim ke Batam.

Wakil rakyat dari FPP itu merasa prihatin dan menyesalkan terhadap munculnya dugaan kasus penjualan anak jalanan. Hal ini mengindikasikan selama ini mereka tidak dibina. “Lalu dana sebesar itu untuk apa?”

Dia yakin jika anggaran yang tersedia itu dimanfaatkan sebagaimana mestinya, mampu mengentaskan anak jalanan. Hanya saja, dia masih pesimistis apakah instansi yang berkaitan dengan pengelolaan dana sebesar itu mampu melakukan tugas sesuai harapan.

Alasannya, hingga kini di Jateng belum terlihat adanya konsep dan teknis penanganan anak jalanan yang profesional. Berbeda dari Jakarta, ada sejumlah LSM yang secara profesional memiliki binaan anak jalanan.

“Mereka ada yang disekolahkan dan ada pula yang diberi pelatihan, sehingga dalam jangka waktu tertentu mampu berwirausaha.”

Dalam kaitan ini, ia minta agar instansi yang berkompeten, dalam hal ini Dina Sosial dan Departemen Sosial, melibatkan LSM maupun kalangan perguruan tinggi untuk menangani anak jalanan. Hal ini sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya kebocoran anggaran.”

“Sudah terlalu banyak muncul kasus penyelewengan dana JPS, sehingga untuk dana yang satu ini (penanganan anak jalanan), jangan sampai menguap.”

Bergerak Sendiri

Sementara itu, kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengaku kaget atas informasi adanya dana miliaran rupiah tersebut. Yayasan Duta Awam (YDA) Semarang misalnya, menurut ketuanya Drs Gunawan Permadi, selama ini bergerak sendiri dan tak pernah dilibatkan oleh pemerintah dalam penanganan anak jalanan.

“Saya tidak tahu kalau ada dana sebesar itu. Setahu saya, penanganan anak jalanan di sini lebih banyak dilakukan teman-teman LSM, misalnya Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS), solid dan beberapa lainnya.”

Seandainya dana itu menang ada, lanjutnya, barangkali penanganan anak jalanan di Semarang dan Jateng bisa lebih maju dari sekarang. Mengenai program rumah singgah misalnya, di Semarang hanya ada beberapa, seperti dilakukan pihaknya, PAJS, Yayasan Sosial Soegijopranoto (YSS) yang bekerja sama dengan instansi pemerintah dan beberapa LSM lain.

Dia menduga Depsos dan Dinsos memiliki program penanganan anak jalanan. Namun karena tidak disosialisasikan, masyarakat tidak tahu apa saja yang sudah dikerjakan instansi tersebut.

Dia berharap, pemerintah bersikap terbuka dengan pengelolaan dana-dana pembangunan. “Jika tidak, masyarakat tak tahu ke mana dana sebanyak itu digunakan. Dengan paparan terbuka, program pemerintah bisa dievaluasi dan dimonitor bersama.”

Ketertutupan pemerintah dalam hal pengelolaan dana semacam ini, lanjutnya, bisa menimbulkan kecurigaan yang tidak perlu. Senada dengan Istajib, Gunawan mendukung pemerintah perlu berbicara dengan kalangan LSM dan perguruan tinggi.

“Bersama-sama kita menyusun konsep. Pelaksanaannya harus bisa diaudit secara terbuka karena ini menyangkut hak masyarakat.” (B8, gn-13).

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *