Mahasiswa Mengkritisi SPA (Suara Merdeka, 2007)

SUARA MERDEKA, Sabtu, 23 Juni 2007

KETIKA Kota Semarang kehilangan Adipura Kencana sebagian masyarakat menganggap Semarang Pesona Asia (SPA) merupakan alasan utama yang muncul.

SPA adalah program yang diusung Pemkot Kota Semarang untuk mendukung slogan Semarang the Beauty of Asia. Dengan sosialisasi yang cukup gencar beberapa bulan terakhir, pemerintah seperti ingin mengabarkan kepada warganya mengenai imej baru yang telah terbentuk.

Terlepas dari kontroversi dalam masyarakat, ada beberapa pertanyaan kritis. Apakah Semarang the Beauty of Asia benar-benar mampu diwujudkan?

Selain itu, bagaimana awareness masyarakat? Apakah warga Semarang mau bekerja sama mendukung program tersebut? Apakah program ini mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan kritis itu, IMASC Undip dan HMJ Ilmu Komunikasi FISIP Undip menggelar talkshow di Alamanda, 15 Juni lalu. Talkshow bertema “SPA, Sudah Siapkah?” itu berusaha mengupas berbagai persoalan yang muncul, sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan SPA itu sendiri.

Menurut Ketua Panitia, Nony Khusnul K, acara ini diharapkan bisa memberikan wacana bagi masyarakat tentang SPA dalam berbagai perspektif. “Acara ini diselenggarakan karena banyak warga yang merasa sosialisasi  yang dilakukan Pemkot masih kurang.”

Beberapa narasumber pun dihadirkan, termasuk budayawan Prof Eko Budihardjo. Sebagai budayawan, Prof Eko merasa belum banyak dilibatkan. “Padahal jika SPA didukung berbagai pihak, tentu akan memiliki potensi cukup besar,” ujar mantan rektor Undip tersebut.

Kota Dualistik

Menurutnya, Semarang merupakan kota dualistik. Kota yang beranjak modern, tapi masih mempertahankan sisi-sisi tradisionalnya. SPA merupakan gebrakan yang bagus, tetapi dibutuhkan pembangunan yang berkelanjutan untuk mendukung program tersebut.

Berbagai acara pendukung SPA, kritik dia, cenderung terkotak-kotak, alias kurang dirancang sebagai calender of event. Seperti kebiasaannya, setiap kami menyampaikan materi Prof Eko juga menyelipkan puisinya.

“Marilah kita bersama-sama mencoba menjadi empu yang mampu menciptakan logam biasa menjadi keris yang kuat dan indah”. Puisi ini mengisyaratkan agar ada sinergi positif antara Pemkot dan masyarakat, utamanya dalam mendukung SPA.

Menurut Hening B, aktivis LSM Semarang, masyarakat kalangan bawah menganggap SPA identik dengan acara untuk masyarakat menengah ke atas.

“Mengapa bisa demikian, karena kehadiran SPA membuat aktivitas ekonomi kaum bawah justru dihentikan, karena dianggap menganggu program tersebut,”ujarnya.

Hening juga bercerita, beberapa masyarakat bawah meminta lembaganya memperjuangkan hak-hak yang dimiliki masyarakat lemah. Sebab, saat ini banyak aktivitas ekonomi masyarakat bawah yang direbut.

Razia yang dilakukan Pemkot Semarang selalu dengan alasan untuk program SPA. “Jika lapisan bawah kurang dirangkul, dikhawatirkan SPA bisa menimbulkan konflik horisontal. Lebih baik Pemkot memperbaiki dulu persoalan-persoalan yang lebih darurat,” harapnya.

Berbagai kritikan yang dilontarkan narasumber ini hanya salah satu ikhtiar mahasiswa, terutama dari IMASC serta HMJ Ilmu Komunikasi FISIP Undip, untuk memberikan kritik konstruktif mengenai penyelenggaaan SPA.

Bukan melalui aksi unjuk rasa, melainkan dengan mengadakan talkshow yang bisa memberi solusi bagi Pemkot dan masyarakat mengenai persoalan-persoalan di balik SPA. (Dela Sulistiyawan Yunior –32).

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *