MENGGUGAT RAZIA
Oleh: Odi Shalahuddin
Razia, penertiban, garukan, atau apapun istilahnya merupakan hantu yang menakutkan bagi anak jalanan dan kelompok marginal lainnya – seperti gelandangan, pengemis, pengemudi becak, PKL, dan PSK – yang berada atau melakukan kegiatan ekonomi di jalanan.
Kegiatan ini, yang biasanya melibatkan Satuan polisi Pamong Praja dan pihak kepolisian baik secara bersama maupun sendiri-sendiri terasa kental terutama pada wilayah-wilayah perkotaan. Seringkali kita dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang mengusik nurani kemanusiaan kita, menumbuhkan beragam tanya atau menyulut api pemberontakkan jiwa, berkenaan dengan berlangsungnya kegiatan negara dalam mensikapi kegiatan warganegaranya.
Mengapa? Hal ini disebabkan adanya kecenderungan para aparat negara yang menggunakan pola pendekatan yang kerapkali sarat dengan nuansa kekerasan. Sekedar mengingatkan adalah peristiwa penggarukan becak yang terjadi beberapa waktu yang lalu di berbagai kawasan di Jakarta yang terlampau jauh memasuki wilayah privasi warganegara yaitu dengan jalan jemput bola selepas tengah malam ke kawasan pemukiman kumuh untuk merampas becak-becak yang ditemukan. Lantas, ketika terjadi perlawanan dari warganegara yang mengakibatkan bentrok dan melahirkan korban luka-luka atau bahkan tewas, siapakah pihak yang mendapat keuntungan darinya?
Kegiatan Ekonomi Jalanan Sebagai Alternatif
Konsep pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan semasa rejim Orde Baru dikenal dengan konsep “trickle down effect” atau tetesan ke bawah Secara sederhana, konsep ini mengandaikan bila kekayaan negara adalah sebuah roti, maka roti ini dibagi untuk segelintir orang terlebih dahulu agar dapat tumbuh sehat dan kuat sehingga bisa menghasilkan banyak roti yang pada akhirnya dapat dinikmati oleh seluruh warga negara.
Konsep pembangunan ini berorientasikan pada pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan. Maka, tidaklah terlalu mengherankan bila industrialisasilah yang dijadikan prioritas mengingat sektor ini dapat dengan cepat memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagai konsekuensinya, maka pembangunan lebih diutamakan di kawasan perkotaan daripada di daerah pedesaan meski sebagian besar penduduk Indonesia berada di daerah pedesaan.
Proses industrialisasi akhirnya merambah daerah-daerah pedesaan dan mengalihfungsikan lahan pertanian – yang menjadi sumber subsistensi warga pedesaan – menjadi lokasi-lokasi industri tanpa melibatkan warga setempat untuk mendapatkan keuntungan darinya. Pengalaman yang terjadi justru menunjukkan bahwa warga pedesaan sangat dirugikan dengan perampasan atau ganti rugi yang rendah atas lahan mereka sehingga mereka bertambah miskin. Program revolusi hijau yang semula dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan ekonomi warga pedesaan pada kenyataannya hasil yang diperoleh merupakan kebalikannya.
Ditengah kemiskinan (baca: proses pemiskinan) yang mendera warga pedesaan yang menyebabkan mereka tidak bisa mengembangkan ekonomi atau mempertahankan hidup dari sumber daya yang tersedia di daerahnya, mendorong para warga pedesaan melakukan urbanisasi ke kotadengan harapan memperoleh pekerjaan yang mampu menjamin kehidupan keluarga mereka. Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak memadainya ketrampilan yang dimiliki, menyebabkan mereka kalah bersaing untuk memperoleh pekerjaan di sektor-sektor formal. Berawal dari nasib demikian, maka para kaum urban yang kepalang basah sudah berada di kota mengembangkan kreativitasnya dengan melakukan kegiatan-kegiatan di sektor informal terutama yang berbasis di jalanan dan menempati lahan-lahan kosong untuk dijadikan sebagai tempat tinggal yang dalam perkembangannya menjadi perkampungan-perkampungan kaum urban.
“Para Pelanggar Hukum”
Kreativitas warganegara mencari alternatif guna mempertahankan hidupnya di tengah belum memadainya kemampuan negara dalam menyediakan lahan pekerjaan yang layak, cilakanya tidak mendapat tempat dari negara. Peraturan perundangan yang ada menempatkan mereka justru sebagai “pelanggar hukum”, sebagaimana misalnya terkandung dalam KUHP pasal 504 dan 505 atau dalam berbagai Peraturan Daerah yang berkaitan dengan tata kota. Bersandar pada dasar hukum demikianlah, negara melalui aparatnya bekerja untuk melakukan pembersihan dan penertiban!
Mencermati akar persoalan dari muncul dan tumbuh-kembangnya kegiatan-kegiatan di sektor informal yang berbasis di jalanan atau menggunakan ruang publik, hal ini dapat dijadikan ukuran sebagai kegagalan dari proses pembangunan yang diterafkan rejim Orde Baru. Krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan dan mampu menjatuhkan Soeharto dari singgasana kekuasaan pada tahun 1998, salah satu dampaknya adalah terbukanya ruang kebebasan berbicara, menyebarluaskan dan menerima informasi, telah membangkitkan kesadaran warganegara dalam mengkritisi proses dan hasil pembangunan yang sebelumnya diagung-agungkan ternyata bersifat semu dan rapuh.
Reformasi yang digemakan sejak tahun 1998 oleh segenap bangsa Indonesia dan membuka harapan baru bagi perubahan yang lebih baik hingga saat ini telah dikelola oleh tiga orang presiden. Perubahan-perubahan lebih baik macam apakah yang dihasilkan dan mampu dinikmati kaum marginal?
Sebagaimana dimitoskan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang baik dan berbudi. Di tengah pemakluman atas krisis ekonomi yang berkepanjangan, mereka tidak banyak disibukkan mendesak kewajiban negara untuk memenuhi hak warganya. Mereka secara mandiri tetap mengembangkan kreativitasnya seoptimal mungkin untuk mencari peluang demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya.
Di tengah situasi semacam itu, maka razia-razia yang sudah, tengah dan dipastikan akan terus berlangsung, perlu dipertanyakan efektivitasnya. Kajian untuk mencari jalan lain yang menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sangat dibutuhkan. Ruang dialog yang melibatkan pemerintah, DPR(D), Kepolisian, praktisi hukum, akademisi , aktivis NGO dan kelompok masyarakat sipil lainnya tentunya mampu memberikan solusi terbaik.
Bila tidak berkenan, akankah kita tetap ngotot untuk terus mengorbankan saudara-saudara kita, yang juga pemilik sah negeri ini, yang bisa jadi telah memberikan kontribusi besar bagi negara, hanya demi menegakkan ketertiban dan keindahan kota? Lantas, di mana reformasinya?