Mengintip Kehidupan Bunga Trotoar Semarang (1): Penyebab Terbesar Jadi Anak Jalanan karena Ortu Ribut (Jawa Pos, 1997)

JAWA POS, 4 Mei 1997, Halaman XIII

Kisah anak jalanan – atau bunga trotoar menurut istilah Iwan Fals – memang tak pernah menggembirakan. Selain harus berjuang keras mencari nafkah, mereka pun tak pernah luput dari bahaya yang mengancam setiap saat. Selain itu, sisi-sisi muram kehidupan mereka pun ternyata sangat mengharukan. Sebagaimana hasil penelitian Yayasan Duta Awam Semarang (YADS), Pemda Kodya Semarang dan Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS) yang dilaporkan wartawan Jawa Pos di Semarang, Irwan Setyawan berikut ini.

FENOMENA anak jalanan seakan tak pernah lepas dari kehidupan kota-kota besar. Termasuk kota Semarang, yang pada 2 Mei 1997 lalu memperingati hari kelahirannya yang ke-450. Hampir di setiap sudut kota, selalu saja ditemui bunga trotoar ini. Namun siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka harus berada di jalanan? Dimana orang tua mereka? Berbagai pertanyaan itu tentu akan selalu muncul setiap kali masyarakat merasa terganggu dengan kehadiran mereka.

Alasan yang sering terdengar dari anak-anak ini, jika ditanya kenapa mereka sampai harus bekerja di jalanan, mungkin karena motivasi ekonomi dan adanya problem keluarga. Alasan inilah yang membuat mereka akhirnya memilih untuk menekuni kehidupan di jalan yang sarat dengan kekerasan. Karena di tempat inilah, mereka bisa mencari nafkah secara serabutan tanpa bekal pendidikan maupun ketrampilan formal.

Pilihan pekerjaan yang mereka jalani pun cukup bervariasi, mulai dari pengamen, tukang semir sepatu, penjual koran, minta-minta, pelayan toko atau restoran, mayeng (pemulung barang-barang), hingga ciblek (pelacur anak-anak) atau lainnya. Di Semarang saja, paling tidak ada sekitar 600 anak jalanan berusia di bawah 16 tahun yang bekerja serabutan untuk mencari nafkah.

Kenapa mereka menjadi anak jalanan? Dari hasil penelitian yang dilakukan YDAS terhadap 101 responden, ternyata diperoleh data yang cukup mengejutkan. Sebab alasan anak-anak itu keluar rumah sebagian besar justru akibat faktor keluarga atau ada masalah di rumah orang tua mereka, seperti ayah dan ibu yang ribut terus, cerai, berselingkuh dengan orang lain, diusir, dianiaya orangtua, mengalami pelecehan seksual di rumah dan sebagainya. Jumlah anak-anak ‘korban’ orang tua mereka sendiri mencapai 80 persen.

Sisanya, sekitar 16 persen berprofesi sebagai anak jalanan akibat faktor ekonomi, 2 persen akibat ada masalah dengan teman di lingkungan rumah asal serta 2 persen lagi akibat pengaruh teman. Akibat persoalan rumah yang harus mereka hadapi ini lebih dari separo anak jalanan atau mencapai 63,2 persen akhirnya putus sekolah, 36,8 persen masih bersekolah dan 6 persen sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan.

Lalu, apa bahaya yang paling ditakuti oleh anak jalanan di Semarang? Jawabnya; dikejar polisi atau tibum. Apa sebabnya? “Tak lain karena saat dikejar petugas itulah, anak-anak jalanan terpaksa lari lintang pukang dengan perasaan takut, tanpa mengindahkan situasi di sekelilingnya,” ujar Nila Ardhianie, Direktur Eksekutif YDAS.

Dalam kondisi seperti inilah, lanjut dia, cukup banyak anak-anak jalanan berusia di bawah 16 tahun yang terjatuh atau tertabrak kendaraan yang lalu lalang. Selain itu, buat mereka ditangkap polisi adalah musibah yang paling berbahaya, kaerna kemungkinan besar anak-anak itu akan disiksa. Bahkan 91 persen anak-anak yang pernah ditangkap oleh aparat akibat melakukan tindakan kriminal, mengaku telah disiksa.

Bahaya dikejar polisi ini, berdasarkan penelitian yang dilakukan YDAS, paling sering dialami oleh anak-anak jalanan di Semarang. Sebanyak 101 responden dari sekitar 600 anak jalanan yang ada di daerah ini, sebanyak 20,3 persen menyatakan dikejar polisi atau tibum merupakan bahaya yang paling mereka takuti.

Sedang bahaya lain dianggap lebih kecil, seperti dipukul orang (10,8 persen), dikompas (9,5 persen), jatuh dari bis (5,4 persen), sakit kelamin (4,1 persen), razia (4,1 persen), tertabrak mobil (2,7 persen), digoda (1,4 persen) dan lainnya.

Tak jarang, anak-anak itu harus mengalami bahaya-bahaya tersebut secara bersamaan. Artinya, saat dikejar polisi, mereka bisa saja tertabrak kendaraan, jatuh dari bis, dipukul dan sebagainya. Prosentase bahaya gabungan seperti itu mencapai 41,7 persen. Sementara profesi anak jalanan yang dianggap paling besar bahayanya adalah pengamen. Sebab mereka seringkali menghadapi bahaya gabungan seperti itu. (bersambung).

 

Mengapa jadi anak jalanan

  • Ada masalah dengan ortu             80   %
  • Faktor ekonomi                                16   %
  • Masalah dengan saudara                 2   %
  • Pengaruh teman                                 2   %

 

Bahaya yang dihadapi

  • Dikejar polisi/tibum                    20,3   %
  • Dipukul orang                                10,8   %
  • Dikompas                                           9,5   %
  • Jatuh dari bus                                   8,4   %
  • Sakit kelamin                                    4,1   %
  • Razia                                                     4,1   %
  • Tertabrak kendaraan                     2,7   %
  • Digoda                                                 1,4   %
  • Gabungan bahaya di atas          41,7   %

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *