JAWA POS, 5 Mei 1997
Jangan dikira kehidupan keras anak jalanan membuat mereka resah. Dugaan awam seperti itu ternyata keliru. Setidaknya menurut hasil penelitian Yayasan Duta Awam Semarang (YADS), Pemda Kodya Semarang dan Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS) ini. Ternyata, 84,4 persen mereka justeru senang menjalani kehidupan sebagai bunga trotoar itu. Mengapa?
BAGI masyarakat umum, angka 84,4 persen yang menyatakan senang menjalani kehidupan anak jalanan ini tentu tidak masuk akal. Apalagi, yang merasa tidak senang hanya sebesar 14,6 persen. Tapi jika menyimak alasannya menjadi maklumlah kita.
Lalu apa alasan mereka? Yang tidak senang, alasannya pun, bermacam-macam. Sebagian merasa rendah diri karena sering dipandang hina oleh masyarakat di sekelilingnya. Yang lainnya, merasa malu untuk melakukan pekerjaan seperti itu terus. Ada pula yang takut akan bahaya dan resiko dari pekerjaannya itu.
Lalu, apa alasan mereka sehingga senang dengan pekerjaannya saat ini? Kebanyakan menjawab, apa yang mereka lakukan saat ini tidak ada yang mengatur. Mereka bisa bekerja dengan bebas dan memperoleh uang yang cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Bahkan, cukup banyak pula anak-anak yang mengatakan senang bisa memegang uang setiap hari. Tidak seperti saat belum bekerja.
Yang memprihatinkan, ternyata ada pula yang anak-anak jalanan yang sudah begitu terlena dengan kehidupannya sekarang. Misalnya, seperti pengakuan seorang ciblek (pelacur anak-anak) di kota ini.
“Saya senang dengan pekerjaan ini karena bisa hidup seperti orang kaya. Naik turun mobil, bisa makan makanan yang dimakan orang kaya seperti spaghetti atau lainnya,” tutur Nila Ardhianie, Direktur Eksekutif YDAS menirukan pengakuan seorang ciblek di kota ini.
Mungkin yang sedikit melegakan, meski mereka mengaku senang dengan kehidupannya sekarang, namun anak-anak jalanan ini ternyata tetap memiliki keinginan untuk mendapat pekerjaan yang lain. Sebanyak 99,6 persen punya keinginan untuk itu. Sedang 9,4 persen lainnya ingin tetap di pekerjaan yang dijalaninya saat ini. Meski sebenarnya mereka sadar, apa yang mereka lakukan mengundang bahaya.
Di Semarang sendiri, yang pada 2 Mei 1997 lalu merayakan hari lahirnya yang ke 450, sebagian besar anak-anak jalanan beroperasi di kawasan Pasar Johar. Tercatat, sekitar 19,8 persen melakukan pekerjaannya di daerah ini. Sisanya di kawasan Simpang Lima (13,9 persen), Pasar Bulu (12,8 persen), Karangayu dan sekitarnya (8,9 persen), seputaran stasiun Poncol (5 persen), Kali Banteng (4 persen), Banyumanik (0,9 persen) dan daerah lain (5 persen). Sisanya sebesar 25,7 persen bekerja secara berpindah-pindah.
Sebelum rumah dinas Gubernur Jawa Tengah senilai Rp 7 miliar selesai dibangun, sebenarnya cukup banyak anak-anak jalanan yang tidur di kawasan Tugu Muda Semarang.
Sehingga bisa dibayangkan, betapa kedinginannya mereka jika tidur di malam hari, dengan hanya berselimut langit dan tanpa alas apapun.
Namun setelah rumah dinas di kawasan Tugu Muda itu rampung, tak jelas kemana mereka pindah. (irwan s).