Sumber: Suara Merdeka, 25 September 2002
DI antara tumpukan sampah yang bergunung-gunung di Jalan Pengapon, lima anak tengah ”berburu”. Siapa tahu menemukan sisa-sisa makanan atau barang-barang mainan yang masih bisa dimanfaatkan.
Bau tak sedap yang menusuk hidung tak mereka pedulikan. Kotoran hitam yang menempel di baju dan badan juga tak dihiraukan. Sesekali mereka tertawa riang, tatkala menemukan barang di gundukan sampah yang sebagian besar dari limbah Pasar Rejomulyo (Pasar Kobong) dan rumah tangga.
Andi (10) berbaju merah lusuh murid kelas IV SD itu baru saja mendapat mobil-mobilan kecil. Walaupun mainan itu tak lagi utuh lantaran terjepit benda-benda keras, dia masih berusaha menjalankannya. Dari mulutnya terdengar suara menderu bak kebisingan kendaraan bermotor di Jalan MT Haryono yang selalu padat.
Temannya, Ruslan yang terlihat lebih dewasa, mengais-ngais tumpukan. Di saku belakang celana pendeknya tersembul ecek-ecek, barangkali buatan sendiri dari bekas tutup botol dan seng tipis.
”Biasanya saya mengamen di sekitar Pasar Johar. Tadi naik bus bersama teman, tiba-tiba ingin turun di sini,” tuturnya dalam logat Jawa yang kental. Beberapa rekannya lebih dulu berada di tempat itu.
Dia terpaksa keluar dari sebuah SD di Kota Tegal, sebab orang tuanya tidak mampu membiayai. Lalu, bermodal ecek-ecek dia nekat menuju ke Kota Semarang sejak setahun lalu dengan nebeng bus jurusan Tegal-Semarang.
Anak-anak usia sekolah itu memang terpaksa bekerja. Mereka hanya di antara 253.263 anak telantar yang tercatat di Dinas Kesejahteraan Jateng.
Tanpa pendampingan orang tua, anak-anak tersebut tinggal di jalanan kota-kota seperti Surakarta, Banyumas, Pekalongan, Kendal, dan Semarang.
Sebagian harus mencari nafkah untuk hidupnya. Ada pula yang dipaksa orang tuanya untuk mencari penghasilan di lampu merah.
Di kawasan Simpanglima dan Jalan Gajah Mada setiap hari bisa disaksikan ibu yang menggendong bayinya mendekati setiap mobil yang berhenti saat lampu merah. Atau, menidurkan bayi beralaskan kardus tepat di pinggir jalan strategis.
Yayasan Setara di Jalan Tumpang menyatakan pada periode 1996-2001 telah mendampingi 592 anak jalanan. Jumlah tersebut terus meningkat sejak krisis ekonomi. Pada 1999 terdapat 1.300 anak yang menjadi dampingan yayasan tersebut.
Dedy Prasetio, Sekretaris Yayasan Setara, Senin (23/9) mengungkapkan anak-anak jalanan tersebut sebagian berasal dari orang tua yang dikenai PHK. Mereka dipaksa bekerja atau menambah penghasilan keluarga.
Lembaga ASA TDH di Jalan Tumpang menemukan 127 anak-anak usia di bawah 18 tahun yang didampingi. Mereka biasa mangkal di depan Polda Jateng, kawasan Simpanglima, Pasar Johar, dan Tugu Muda.
”Umumnya mereka terjun ke jalanan lantaran alasan ekonomi. Sebagian lagi lari dari rumah, korban broken home, atau dimanfaatkan orang tuanya,” tutur Asisten Koordinator ASA TDH Karyoto.
Yayasan itu mencatat, anak-anak tersebut tidak hanya dari dalam kota. Sebagian datang dari wilayah Kendal, Purwodadi, Jepara, Kendal, dan Cirebon.
Kedua yayasan yang intens dengan penanganan dan kekerasan anak-anak jalanan tersebut mengakui kebelumoptimalan penanganan pemerintah. Anggaran untuk memelihara anak-anak hanya sebatas ”katanya”.
”Terbukti tidak pernah sampai. Pengamen dan pengemis di jalanan terus bertambah. Nasib mereka tetap terpinggirkan, jauh dari perhatian yang terkalahkan dengan ingar-bingar politik.”
Seperti nasib Andi dan Ruslan yang bergumul dengan sampah di samping Pasar Kobong. Mereka bersama teman-teman senasib dan sepermainan masih saja tidak dipedulikan.
Mereka berkembang dengan caranya sendiri tanpa pendampingan orang tua yang semestinya membimbing dengan penuh kasih sayang. Entah sampai kapan. (Agus Toto Widyatmoko-73j)
Sumber:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/25/kot2.htm