Potret Anak Jalanan: Mereka Butuh Pendampingan (Minggu Pagi, 1999)

Minggu Pagi, No. 20 Th 51, MG I, Pebruari 1999, Halaman 6

Anak jalanan biasa disebut “tikyan”. Akibat krismon, jumlahnya membengkak. Bukan lagi puluhan, melainkan ratusan. Tapi, sekarang sulit dibedakan, anak jalanan murni dan musiman. Yang terang, mereka itu butuh pendampingan.

*******************************************

MEREKA memang bukan seperti anak kebanyakan yang hidupnya teratur: pagi sekolah, siang tidur, malam belajar dan begitu seterusnya. Tapi, mereka justru terbiasa hidup di jalanan. Akrab dengan berbagai peristiwa. Padahal, usia mereka tergolong usia produktif. Usia sekolah. Itu sebab, mereka butuh pendampingan. Karena berbagai kemungkinan bisa saja terjadi di jalanan.

Pendampingan itulah yang dilakukan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang punya kepedulian terhadap hidup anak jalanan.

Salah satunya adalah Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN). LSM ini berusaha untuk meminimalisasi serta mengantisipasi upaya penekanan terhadap anak jalanan. Untuk itu, LSM tersebut terus melakukan program pendampingan. Langkah itu tidak hanya dilakukan sendiri, naun juga melakukan suport system dengan LSM di Semarang, di antaranya Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS).

Adapun salah satu program yang saat ini aktif dilaksanakan, yaitu melakukan survei dan pendampingan serta advokasi terhadap anak jalanan yang dimobilisasi untuk dijadikan tenaga seksual. “Mereka dikelola untuk kemudian dijadikan tenaga seksual, itulah yang sedang banyak terjadi saat ini,” ujar Odi Shalahudin, aktivis SAMIN yang saat ini tengah aktif melakukan advokasi terhadap anak jalanan di Semarang. Pada dasarnya, mereka itu inocent, sehingga posisinya banyak dijadikan objek oleh pihak-pihak tertentu, lanjut Odi Shalahuddin.

Selain program tersebut, menurut Tanto, yang juga salah satu relawan Samin, pihaknya sedang melaksanakan monitoring kasus-kasus yang dialami anak, termasuk yagn berkembang dalam kehidupan anak jalanan. “Program tersebut nantinya akan mengarah pada perlindungan (protection) khusus bagi anak-anak. Karena ternyata tidak sedikit anak-anak yang dijadikan korban perkosaan dan tindakan kekerasan lainnya. Terlebih mereka yang berada di tengah-tengah kerasnya kondisi kehidupan jalanan,” ujar Tanto yang tidak henti-hentinya melakukan kampanye penyadaran akan hak-hak anak.

Didit, salah seorang koordinator kegiatan Yayasan Humana mengakui, jumlah anak jalanan memang makin bertambah banyak, dan sulit didata secara pasti. Keberadaan mereka hanya dapat diketahui dari rumah singgah. Karena setiap rumah singgah punya program untuk membantu agar anak jalanan bisa memiliki ketrampilan yang kemungkinan anak berguna.

Untuk itu, Yayasan Humana lantas mendirikan semacam ‘universitas’ khusus buat anak-anak jalanan. Tempatnya di Plosokuning, Minomartani, Sleman, Yogya. Di ‘kampus’ itu, mereka diajarkan keterampilan yang diberikan setiap bulan pada minggu ketiga. Ini merupakan salah satu sikap Yayasan Humana untuk ikut membantu mengarahkan bakat sesuai kemauan anak. Disitulah mereka, anak-anak jalanan itu belajar banyak hal. “Tapi selesai kursus mereka malamnya bisa kembali ke rumah singgah atau kalau mau ngamen, silakan. Sebab, jika dipaksakan mereka kebanyakan tidak bisa, karena sudah terbiasa hidup bebas,” kata Didit.

Jumlah peserta kursus setiap angkatan tidak pasti. Kadang 20-30 anak, karena menyesuaikan tempatnya. Peserta kursus adalah anak-anak jalanan Yogya yang tinggal di berbagai rumah singgah. Mereka yang mengikuti kursus selama 5 – 6 hari tinggal di ‘kampus’ itu. Selain diberikan ketrampilan sablon, pernah juga diberikan latihan kerajinan keramik, daur ulang kertas da ukir patung. Karena mereka setiap hari kebanyakan hidup dari mengamen, maka setidaknya 2 grup dalam 4 kali semiggu, latihan musik.

Mereka, kata Aan Subansyah, salah seorang Litbang Yayasan Humana, dididik oleh instruktur yang sama sekali tak memikirkan soal honor. Kalaupun menerima uang, istilahnya hanya sekadar uang transpor dan pembelian peralatan untuk keperluan proses belajar mengajar.

Selama mengikuti pelajaran, mereka tampak semangat. Meski sesekali ada semacam kejenuhan, karena mereka tidak terbiasa dengan jadwal belajar. Itu bisa dimaklumi. Tapi untuk memberikan tantangan agar mereka memiliki kemauan belajar, memang butuh kesabaran. “Anak-anak jalanan itu punya kehebatan berupa kemandirian yang kuat. Sebab, sejak kecil, selama hidup di jalanan sudah terbiasa hidup mandiri. Kehidupan di jalanan itu penuh tantangan,” kata Aan ketika ditemui di sela-sela menemani anak-anak jalanan latihan sablon.  (Heroe/Khocil)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *