Seks Bebas Anak Jalanan, Demi Solidaritas, Gratis dengan Sesama Anjal (Radar Semarang, 2011)

RADAR SEMARANG, Sabtu, 12 Februari 2011

Kehidupan bebas anak jalanan (anjal) membuat mereka tidak terkontrol. Tanpa pengawasan, mereka berbuat sesuka hati. Tidak hanya ngelem, mengonsumsi kasaran, mereka juga terlibat hubungan seks bebas. Seperti apa?

HAMPIR tengah malam, di salah satu suduh Kota Semarang. Belasan pasang remaja masih asyik menikmati suasana malam di sana. Cuaca cerah, udara segar, berpadu dengan pendar lampu taman. Di pojok lain, belasan remaja duduk bergerombol. Ada yang merokok, bermain kentrung, atau sekedar bermain telepon seluler. Sebagian dari mereka adalah pengamen.

“Buat cari pengalaman saja sih, mumpung masih muda,” kata Farhan (bukan nama sebenarnya), salah satu anjal di sana. Ia datang ke Semarang sebulan lalu, menumpang kereta api dari salah satu kota di Jawa Barat. “Sebenarnya pingin kerja, pengin nyusul kakek ke Bangka Belitung kerja jualan timah. Katanya di sana sehari bisa dapat Rp 250 sampai Rp 300 ribu,” lanjutnya.

Farhan mengaku, hidup sebagai anak jalanan memberinya kebebasan. Namun, itu juga membuatnya tidak terurus. Selain harus tidur di sembarang tempat, ia tidak punya cukup pakaian. Bahkan, selama sebulan terakhir di Semarang, ia mengaku hanya punya satu pasang baju. Ia juga harus nyeker karena belum bisa membeli sandal lagi. “Sandalku putus. Beli lagi nanti aja kalau mau pulang,” katanya.

Farhan mengaku, ia belum pernah melakukan hubungan seks. Sebab, kata remaja usia 19 tahun ini, ia punya pacar. Pacarnya dari sebuah kota di timur provinsi ini. Ia juga tidak mau melakukan hubungan intim dengan sesama anjal atau pekerja seks komersial.

“Mending sama pacar, kayaknya lebih enak. Apalagi kalau sudah nikah,” katanya. Meski begitu, ia pernah nyaris melakukan hal itu ketika bertemu pacarnya. Di semak-semak, mereka berpelukan dan berciuman. Sempat ada niat untuk melanjutkan pergumulan, tapi ia mengurungkan. “Padahal dia sebenarnya mau. Kayaknya dia sangat banget sama aku,” katanya.

Anjal Cewek Korban Pangris

Di Semarang, anjal terbagi menjadi beberapa kelompok sesuai tempat mereka mangkal. Selain Tugu Muda, ada pula anjal Simpang Lima, Kaligarang, Kalibanteng dan Johar. Namun, ada pula kelompok lain yang tidak punya tempat mangkal tetap.

Tri Putranti Novitasari dari Yayasan Setara menyebut, pada 2004, jumlah anjal mencapai 241 anak. “Yang kami dampingi 10 kelompok. Lima kelompok dari jalanan, 5 kelompok lainnya dari kampung,” lanjutnya.

Dalam satu kelompok, anjal punya solidaritas tinggi. Namun dengan kelompok lain, mereka cenderung bermusuhan. Mereka sering terlibat perkelahian hanya untuk membuktikan bahwa kelompoknya yang paling hebat. “Biasanya kalau ada konser. Dulu kami juga dicegat kelompok lain diajak berantem,” kata sumber itu.

Sebagai bukti solidaritas dalam sebuah kelompok, mereka sering minum ciu bersama. Mereka membeli minuman kelas rendah itu secara patungan dari hasil mengamen. “Setengah harganya 13ribu,” kata anjal lain, sebut saja Ivan. Selain itu, mereka juga sering ngelem bersama. “Itu lem buat sol sepatu sebenarnya,” lanjutnya.

Dalam kondisi mabuk inilah, perbuatan mesum diantara mereka kerap terjadi. Ada beberapa anjal cewek yang biasanya bergabung dengan mereka. Padahal, cewek itu sebenarnya tidak menggelandang layaknya mereka. Ia punya rumah dan tinggal menetap. Sesekali saja ia keluar malam.

Dalam catatan Yayasan Setara, pada 2007 pernah terjadi pemerkosaan beramai-ramai. “Istilahnya itu Pangris atau Jepang baris. Ada lima pelaku, yang dua sudah dewasa, yang 3 masih remaja,” kata Novi. Kasus tersebut sudah vonis. Pelaku diganjar hukuman 2,5 tahun penjara. “Sekarang sudah bebas,” lanjutnya.

Sumber koran ini di Tugu Muda menyebut, ada seorang remaja putri yang sering dijadikan anak jalanan tempat berkencan. Bahkan, katanya “semua teman-teman disini sudah pernah coba.”

“Biasanya cewek yang sebut saja Melati itu (bukan nama sebenarnya), sesekali datang. Memang tidak menawarkan diri, tapi hampir selalu mau kalau ada yang mengajaknya berhubungan layaknya suami istri. “Dikasih duit Rp 10 ribu dia mau. Kalau sama pengamen sih gratis, buat solidaritas aja,” lanjutnya.

Masih menurut sumber di atas, Melati sebenarnya anak orang cukup berada. Ia menyebut, rumah orangtuanya bahkan berlantai dua. Namun, ia mengalami sedikit gangguan mental karena pernah jatuh dari sepeda motor. Akibatnya, gadis yang diperkirakan baru berusia enam belas tahun itu sering linglung. Ia juga kesulitan mengenali uang, kecuali uang seribuan, dua ribuan dan lima ribuan.

“Dulu aku pernah ngamen sama dia. Uang seribuan kita bagi dua. Sisanya dia kasih semua ke aku,” kata sumber itu. “Dia bilang ini buat kamu aja. Uang begitu aku ndak mudeng,” katanya menirukan ucapan melati.

Cewek lain yang sering dijadian teman berkencan, sebut saja bernama Dahlia. Usianya masih enam belas tahun. Masih menurut sumber koran ini, Dahlia juga bukan pekerja seks komersil. Ia hanya sesekali melakukan hubungan itu untuk bersenang-senang. “Biasanya dia main ke sini jam sembilanan terus pulang lagi tengah malam,” katanya.

Farhan mengaku, dorongan untuk melakukan hubungan seks kerap muncul setelah ia menyaksikan video porno. Dulu ia menyaksikannya dari telepon seluler. Setelah handphone digadaikan, ia mencarinya dari warnet. “Di warnet, dua ribu sejam. Paling suka lihat yang anak kecil. Kalau yang sudah tua saya kurang suka,” tuturnya. (rahmat.petuguran/isk).

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *