Seks Simpanglima: Birahi Binal Anak Jalanan (Suara Karya, 2006)

 

Suara Karya, 5 Pebruari 2006

Sudah menjadi rahasia umum, kawasan Simpanglima Kota Semarang sebagai area publik, kini telah mengalami pergeseran moral yang sangat luar biasa. Simpanglima bukan lagi merupakan tempat rekreasi keluarga yang berpusat di tengah-tengah kota.  

Sejak satu dasawarsa terakhir, tempat ini telah berubah warna menjadi ajang transaksi seks yang luar biasa derasnya. Tidak terbatas pada malam minggu saja, Simpanglima hampir saban malam selalu menawarkan daya pikat karang birahi. Seiring dengan maraknya bisnis mesum yang dikemas dalam layanan secangkir teh poci dari balik tenda-tenda kafe, aksi kejahatan pun tumbuh subur di kawasan ini.

Seks dan tindak kriminal di negara mana pun, sepertinya telah menjadi dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Demikian halnya di Simpanglima. Di tengah-tengah derai tawa perempuan-perempuan nakal dan para lelaki hidung belang yang menaksirnya, tidak sedikit orang yang harus menangis lantaran dompetnya melayang, atau menjerit kesakitan setelah tubuhnya berdarah-darah akibat sabetan pisau penjahat. Karena itu ada satu saran, selalu waspada memasuki area Simpanglima.

Satu hal yang patut dicatat, Simpanglima selama ini tidak pernah menampilkan “mesin-mesin” asmara tua. Yang muncul saban malam adalah para wanita belia berusia di bawah 20-an. Bahkan tak jarang kita dapatkan mesin asmara yang benar-benar kencur, berusia bangsa 15-an.


Di Semarang, bocah-bocah kencur yang sudah berani menjajajakan diri itu lazim disebut ciblek (cilikan betah melek-gadis kecil suka begadang), atau cilik-cilik iso digemblek (masih kecil bisa dipakai).

Mereka memang bukan berasal dari keluarga baik-baik dan mapan sosial ekonominya. Selain miskin dan broken home, mereka terpaksa melakoni kehidupan malam Simpanglima biasanya setelah dinistakan oleh sang kekasih saat mereka masih kumpul bareng sebagai pengamen jalanan.

Pengamen jalanan? Ya! Hampir semua ciblek pelayan kedai-kedai kafe yang bisa dipakai, atau yang secara freelance menjajakan diri di tepi jalan kawasan Simpanglima itu, berlatar belakang sebagai pengamen lampu merah. Mereka adalah anak-anak jalanan yang tak mampu merengkuh masa depannya yang indah. Kekerasan hidup di jalanan, telah membangun perilaku nekat bagi anak-anak perempuannya untuk menceburkan diri ke dunia pelacuran. Sedang bagi anak laki-lakinya cenderung menerjuni dunia kriminal.

Di Kota Semarang sebenarnya ada dua lokalisasi yang selama ini menjadi andalan para lelaki hidung belang, dengan jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) cukup banyak. Lokalisasi pertama Sunan Kuning (SK) Semarang Barat memiliki sekitar 500 PSK. Lokalisasi kedua Gambilangu (GBL) berbatasan dengan Kabupaten Kendal memiliki lebih 300 PSK. Disamping itu, Kota Semarang juga masih menyajikan lebih dari 200 wanita panggilan yang tersebar di berbagai penampungan.

Tapi meskipun sudah tersedia wanita nakal dalam jumlah besar, kenapa para lelaki yang suka pelesiran kini lebih memfokuskan perhatiannya ke Simpanglima?

Seorang ciblek yang malam itu menemani di sebuah kedai teh poci, sebut saja Yuniwati, menuturkan, sedikitnya ada dua alasan mengapa laki-laki lebih terkonsentrasi di Simpanglima. Pertama, PSK di Sunan Kuning dan Gambilangu kebanyakan sudah dimakan usia. Kedua, kalau mau booking wanita panggilan dari berbagai penampungan ongkosnya mahal.

“Sementara kalau mencari ciblek disini, usianya masih ranum, barangnya istimewa, seratus ribu sudah on the road, lagi. Alias tinggal pancal!” tutur Yuniwati, sangat kenes dan binal.

Sebagai mantan anak jalanan (pengamen) perempuan yang mengaku berusia 17 tahun ini mencontohkan, PSK Sunan Kuning dan Gambilangu mematok tarif sekali main (short time) antara Rp 75.000 sampai Rp 100.000. Tapi jika membooking wanita panggilan orang mesti merogoh kocek antara Rp 250.000 sampai Rp 500. 000. “Itu perbedaan harga yang wajar. Sebab diantara wanita panggilan tadi ada yang masih berstatus mahasiswi sebuah perguruan tinggi, atau bahkan masih sekolah di SMA,” ungkap dia pula.

Pendapat senada dilontarkan ciblek yang lain, sebut saja Katri,Tiwuk, dan Lestari. Menurut mereka yang semuanya mantan anak jalanan tersebut, ciblek Simpanglima kini memang jadi alternatif terbaik bagi para lelaki pengumbar syahwat. Sebab usia mereka relatif masih sangat belia dan tarif yang mereka patok tidak muluk-muluk.

“Cukup dengan pulsa seratus ribu kami siap puaskan mereka.Tapi kalau kita mau dibawa terbang sampai pagi, ongkosnya mesti dua kali lipat dong,” jelas Katri, sambil menyuguhkan kopi panas kepada tamunya.

Katri dan Lestari bicara blak-blakan, menekuni profesi sebagai ciblek di Simpanglima jauh lebih menggiurkan penghasilannya ketimbang harus mengamen di lampu merah. Dulu ketika masih ngamen, sehari paling hanya bisa mengantongi Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu. Kini setelah menjajakan diri lewat kedai-kedai kafe Simpanglima, paling celaka semalam menggenggam Rp 100 ribu.

“Rumahku di Demak sekarang bagus, ada tv dan sepeda motor,” ungkap Lestari penuh kebanggaan.

Sejumlah lelaki petualang cinta pun mengakui keistimewaan para ciblek Simpanglima. Di mata mereka, memburu PSK mantan anak jalanan ternyata jauh lebih mengasyikkan. Selain usianya relatif muda, tubuh-tubuh yang terbungkus dibalik pakaian ketat itu pun terhitung maih alami. Aromanya khas.

“Yang jelas kebinalan birahi yang mereka tawarkan sungguh sangat berbeda. Ada sensasi yang tidak pernah saya dapatkan dari seorang mahasiswi sekalipun,” ungkap seorang lelaki hidung belang, sebut saja Hendrik, yang malam itu sedang bernegosiasi dengan Tiwuk.

Seks Simpanglima, kini memang mengemuka sebagai fenomena menarik. Sayang keberadaannya tumpang tindih dengan banyak kepentingan lain. Simpanglima sebagai pusat rekreasi dan pusat belanja keluarga, seharusnya dijaga citranya, dengan tidak mencampuradukkan masalah seks dan kriminal di dalamnya. Tapi siapa sanggup mengatur, ketika Pemerintah Kota Semarang sendiri terkesan masa bodoh?

Malam itu bulan tidak bulat penuh. Ketika mata sudah mulai terkantuk-kantuk, Yuniwati, Katri, Tiwuk, dan Lestari, malah sedang mengawali pekerjaan yang sesungguhnya. Mereka dibawa empat orang lelaki dalam sebuah mobil kijang sekaligus, menuju kawasan Semarang Atas untuk mewujudkan ajian Kamasutra.

Anak-anak belia itu sungguh tidak menyadari, kalau para induk semang pemilik kedai kopi atau teh poci yang mereka tinggalkan, tengah sibuk mencuci gelas dan piring sendirian. (Pudyo Saptono).

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *