WAWASAN, 3 November 1996, Halaman III
Tahukah Anda? Kini penduduk miskin di Indonesia masih sekitar 25 juta orang yang tersebar di kawasan pedesaan ataupun perkotaan. Tingkat kemiskinan ini pada giliran akhirnya bukan tidak mustahil, jika memicu jumlah anak jalanan ataupun anak pekerja. Dengan kata lain, keberadaan anak jalanan ataupun anak pekerja memang berkaitpaut secara langsung dengan masalah kemiskinan yang melibas orangtua mereka.
Hasil Sensus Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 1992 antara lain menyatakan bahwa jumlah anak pekerja di Indonesia mencapai 2,5 juta orang. Ini artinya sampai 10 persen dari jumlah total penduduk miskin di Indonesia yang terperkirakan sampai 25 juta orang itu. Prosentase tersebut, kalau tidak dicermati, sudah melewati ambang toleransi yang idealnya mencapai maksimal 3 persen saja dari total penduduk miskin di sebuah negara. Tetapi, menurut pendapat para ahli, tingkat prosentase tersebut masih lebih bagus dibanding situasi di Brasil atau Banglades yang mencapai antara 30 hingga 48 persen dari total jumlah orang miskin di masing-masing negara tersebut di atas.
Lepas dari data tersebut di atas menarik pula untuk diketahui bahwa pada tahun 1989, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 1989, tingkat partisipasi anak di sekolah masih tergolong rendah. Total populasi anak usia sekolah pada tahun itu di Indonesia mencapai 39.974.761 orang. Mereka ini terbagi dalam dua kategori usia. Pertama, kelompok usia 7 – 12 tahun mencapai 14.179.647 anak laki-laki dan 13.273.344 anak perempuan, atau total jumlah mencapai 17.452.991 orang. Kelompok kedua, usia 13 – 15 tahun, mencapai jumlah 6.397.545 anak laki-laki dan 6.124.225 anak perempuan atau total jumlah mencapai 12.521.770 orang.
Lalu apa arti tampilan angka-angka tersebut? Sederhana saja, bahwa fakta berikutnya menadaskan: dari jumlah total populasi anak usia 7 – 12 tahun yang mencapai 27.452.991 orang itu hanya 24.850.970 yang masih ataupun pernah bersekolah. Dengan kata lain, terdapat 2.602.021 anak pada kelompok usia tersebut di atas yang tidak bersekolah. Sedangkan pada kategori kelompok usia kedua jumlah mereka yang bersekolah dari total 12.521.770 orang hanya 8.569.962 orang saja. dengan demikian para kategori kelompok usia 13 – 15 tahun ini mereka yang tidak bersekolah atau tidak lagi bersekolah mencapai jumlah 3.951.808 orang. Angka-angka itu sendiri secara langsung menghadirkan fakta bahwa tingkat partisipasi anak kelompok usia 7 – 12 tahun dan 13 – 15 tahun di sekolah, pada tahun 1989, masih tergolong rendah. Hanya mencapai 68,4 persen untuk kategori kelompok usia 13 – 15 tahun dan 90,5 persen untuk kategori kelompok usia 7 – 12 tahun. Idealnya tingkat partisipasi itu mencapai 95,5 persen untuk kategori kelompok usia 7 – 12 tahun dan 90 persen untuk kategori kelompok usia 13 – 15 tahun.
Terpaksa lari
Picu utama terpenting yang pada giliran akhirnya menajdikan begitu banyak jumlah anak-anak di Indonesia yang tidak bersekolah ataupun drop-out, menurut kalangan pengamat, adalah masalah keterbatasan atau ketidakmampuan ekonomi keluarga dari anak yang bersangkutan. Di lain fihak, kalau hendak dicermati lebih jujur, biaya sekolah di segala tingkat masih dibilang mahal untuk ukuran mayoritas penduduk Indonesia.
Mengembalikan anak usia sekolah ke dunianya, yakni belajar dan bermain serta berinteraksi dengan baik dan benar, jelas membutuhkan biaya yang tak bisa dibilang kecil. Tetapi, betapapun mahalnya, hal tersebut bukan lantas berarti tidak bias terupayakan perwujudannya.
Kalau kita amati, apa lagi jika didukung cukup data, kita akan tahu bahwa pemerintah telah berupaya maksimal sepadan dengan kemampuan yang ada untuk mengurangkan jumkah ataupun persentase anak usia sekolah yang terpaksa lari dari bangku sekolah. Sejak tahun 1977 misalnya, pemerintah telah membebaskan biaya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) untuk tingkat SD (Sekolah Dasar) hingga SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) Negeri. Tetapi toh pada kenyataannya itu tidak berhasil mengurangi jumlah anak usia sekolah yang pada akhirnya harus drop out meski baru berada di tingkat SD, sebagian lain hengkang selagi berada di tingkat SLTP. Mengapa? Sederhana saja, sebab meski uang SPP telah dihapuskan namun biaya lainnya masih terbilang tinggi. Uang BP3, uang buku, uang seragam sekolah, dan “deret uang untuk kepentingan lain” masing tinggi. Di lain fihak, untuk sekadar diketahui saja, jutaan orangtua masih berpenghasilan rendah yang jauh dari memadai untuk menopang kebutuhan pokok kehidupan keluarganya.
Pada situasi semacam itu, bisa ditebak memang … urusan pendidikan dasar untuk anak-anak mereka pun terpaksa menjadi soal kesekian dalam daftar deret prioritas. Malah, terutama konon justru di kawasan perkotaan, keluarga miskin tersebut lebh merasa harus menghela anaknya untuk bekerja ketimbang sekolah. Alasannya? Oh, sederhana saja…., yakni untuk meringankan beban ekonomi orang tua. Mereka inilah yang lantas merambah ke berbagai sektor kerja formal ataupun nonformal dengan sebagian besar “jatuh” menjadi pelaku jenis kerja di sektor nonformal yang paling rendah. Mereka ini, lantaran minimnya tingkat pendidikan formal yang berhasil ditempuh dan sangat terbataskan keterampilan ataupun keahlian yang mereka miliki, menempuh kehidupan sebagai anak jalanan….. (Timur Sinar Suprabana/Mr).